Subscribe RSS

Hujan merupakan nikmat Allah. Dengan hujan Allah menurunkan banyak nikmat ke muka bumi. Dengan hujan Allah menghidupkan bumi yang gersang. Meskipun dengan hujan juga Allah dapat mengirimkan adzab, sebagaimana yang menimpa umat Nabi Nuh as.
Sehingga tidaklah mengherankan, manakala mendung datang, Rasulullah saw tampak cemas dan khawatir. Kecemasan dan kekhawatiran beliau sirna dan berubah menjadi kegembiraan manakala hujan benar-benar turun. Saat mendung datang, beliau khawatir jangan-jangan yang turun nantinya adalah adzab dari Allah. Begitu turun hujan, maka yakinlah beliau bahwa ternyata rahmat dan berkah Allah lah yang turun.
Saat hujan turun, ada beberapa amalan ibadah yang khas dikerjakan oleh Rasulullah saw. Dan kekhasan amalan ini hanya saat hujan turun saja. Sedangkan di saat biasa, dimana tidak turun hujan, amalan khusus ini tidaklah dikerjakan. Apa sajakah amalan tersebut? Sudahkah kita mengetahui dan mengamalkannya?
Amalan Khusus Saat Hujan Turun
1. Dari Abdullah ibn Haris ra berkata : Ibnu Abbas berkata kepada muadzinnya pada suatu hari turun hujan : “Apabila engkau telah membacakan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, janganlah engkau membacakan Hayya alash sholah. Bacalah Sholluu fii buyuutikum.” Para hadirin menyanggah yang demikian itu. Maka Ibnu Abbas berkata : “Apa yang aku suruhkan, telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (yakni Nabi saw). Ketahuilah bahwasannya shalat Jum’at adalah kewajiban yang ditekankan benar. Aku tidak suka menyempitkan kamu atau memaksa-kan kamu berjalan ke tempat shalat di dalam lumpur.” (Hadits shahih riwayat Al Bukhari).
2. Dari Nafi’ Maula Ibnu Umar ia berkata : Bahwasannya Ibnu Umar membacakan adzan di Dajnan, suatu tempat di antara Makkah dan Madinah. Maka beliau membacakan : Sholluu fir Rihal. Kemudian Ibnu Umar ra berkata : “Adalah Nabi saw memerintahkan muadzinnya di saat malam yang dingin, atau hujan atau yang berangin kencang untuk mengucapkan : Sholluu fir rihal.” (Hadits riwayat Abu Daud, An Nasai dan Al Baihaqi).
3. Dari Abdullah ibn Haris ra berka-ta, pada saat turun hujan Ibnu Abbas menjadi khatib. Pada saat muadzin sampai (hendak membaca) Hayya alash sholah, beliau menyuruh supaya mengucapkan seruan Ash sholatu fir rihal. Maka kami saling memandang kepada sesama kami. Maka berkatalah Ibnu Abbas : “Seakan-akan kalian mengingkari hal ini. Ketahuilah, sungguh telah mengamalkan hal ini orang yang lebih baik dari aku (yakni Nabi saw), padahal sesungguhnya Jum’at itu suatu amalan yang ditekankan.” (Hadits shahih riwayat Al Bukhari)
Perkataan Para Ulama
1. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Muhibbut Thabari berkata : “Di musim dingin atau hujan, di dalam adzan tidak dibacakan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah. Melainkan diganti dengan Ala shollu fir rihal.”
2. Imam As Sindi berkata : “Dari hadits-hadits ini dapat dimengerti bahwa para muadzin Jum’at yang membacakan adzan di kala hujan turun, tidak menyempurnakan adzannya. Yakni mengganti hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah dengan asholatu fir rihal.”
Praktek Pengamalan
Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan, bahwa manakala hujan turun, ataupun hawa dingin maupun berangin kencang, maka lafadz adzan diucapkan tidak seperti biasanya. Yakni perkataan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah diganti dengan lafadz Ash sholatu fir rihal atau bisa juga shollu fir rihal (yang artinya sholatlah di tempat kalian), atau Sholluu fii buyuutikum (sholatlah di rumah-rumah kalian).
Amalan sunnah ini hampir tidak dikenal lagi. Jangankan di zaman sekarang, di zaman shahabat Ibnu Abbas saja (yakni zaman Tabiin) sunnah ini hampir tidak dikenal lagi. Ini jelas terlihat di dalam hadits di atas, dimana saat Ibnu Abbas meminta mengganti lafadz hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah, banyak yang mengingkarinya. Pada-hal kita tahu, zaman itu masih dekat dengan zamannya Nabi saw.
Maka tidaklah mengherankan, semakin jauh dari zaman Nabi, banyak sunnah yang semakin dilupakan orang. Seandainya ada sebagian dari umat Islam yang mengamalkan warisan amal sunnah ini, maka hampir bisa dipastikan akan bermunculan penolakan, protes dan tanda tanya besar dari umat Islam di sekitarnya. Bahkan cap aliran aneh, nyleneh, dan lebih jauh lagi cap aliran sesat akan dialamatkan kepada mereka yang mau menghidupkan sunnah ini. Kalau tidak percaya, silakan mencoba.
Sunnah yang lain
Sunnah yang lain yang juga diamalkan Rasulullah saw manakala turun hujan adalah sholat jamak. Sholat jamak saat turun hujan ini lazim disebut sebagai jamak mathor, yakni sholat jamak yang dikerjakan dikarenakan turun hujan.
Diriwayatkan dari Ibu Abbas, bahwa Nabi saw mengerjakan sholat jamak Dhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya’ (dijamak), bukan karena takut maupun karena safar (perjalanan). Berkata Malik (sang rawi): diberitahukan padaku bahwa yang demikian itu saat turun hujan. (Hadits riwayat Abu Dawud).
Di dalam kitab Aunul Ma’bud syarah Sunan Abu Dawud dijelaskan bahwa sholat jama’ mathor saat hadhor (bukan saat safar/perjalanan) dikerjakan oleh sebagian besar ulama salaf sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar, juga diamalkan oleh Urwah, Ibnu Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Salamah dan sekalian fuqaha (ahli Fikih) Madinah. Dan demikian juga, sholat jamak mathor ini menjadi qaul (pendapat) Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal.
Sholat jamak mathor merupakan rukhshoh yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Maka apabila kita ambil rukhshoh tersebut, hal ini akan membuat ridha Allah swt.
Namun sebagaimana sunnah-sunnah yang lain, sholat jamak mathor inipun sudah jarang yang mau mengamalkan. Jangankan mengamalkan, mengetahuinya saja barang-kali hanya sedikit orang.
Namun dengan sedikitnya umat Islam yang mengamalkan suatu sunnah, bukan berarti sunnah itu tidak ada. Harus ada segolongan umat ini yang mau menghidupkan sunnah-sunnah yang langka dan jarang diamalkan umat. Resiko yang harus ditempuh memang berat. Perlawanan datang bukan dari orang kafir, akan tetapi justru akan datang perlawanan dari umat Islam sendiri yang tidak mau belajar dan merasa sudah tahu semuanya tentang Islam.
Memang yang menyebabkan umat semakin jauh dari sunnah adalah ketidakmauan mereka untuk membuka lagi kitab-kitab hadits dan mempelajarinya dengan benar. Amalan yang saat dikerjakan semata-mata hanya meneruskan kebiasaan yang sudah berlaku, tanpa mau menelusuri sumbernya langsung. Sehingga kebiasaan ini menjadi Sunnah dan bahkan wajib, namun justru yang sunnah dan wajib menjadi tergusur.
Hal ini bukan berarti bahwa apa yang sudah diamalkan oleh umat saat ini semuanya hanya kebiasaan atau tradisi, namun seyogyanya apa yang sudah biasa diamalkan ini ditelaah lagi dan dipelajari sumber hukumnya. Dengan demikian umat terbiasa untuk mengamalkan sesuatu dengan dasar ilmu yang jelas. Bukan hanya ikut-ikutan, ataupun sekadar mengikut apa omongan kiyainya ataupun ucapan sesepuhnya

sumber : mbah dipo / pitutur.net

Category: | 0 Comments

0 comments to “Sunnah Yang Telah dilupakan (2) : Sunnah saat hujan”