Subscribe RSS

Keutamaan Menjadi Imam Dalam Sholat Dan Ilmu
1. Dari Abu Hurairah radhialloohu’anhu, Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang imam (sholat) itu memiliki tanggungjawab. Seorang muadzin itu adalah penjaga amanah. Ya Allooh, berikanlah bimbingan kepada para imam tersebut, dan ampunilah dosa-dosa para muadzin itu.”
(HR. Abu Daud no. 517, Tirmidzi no. 207, Ibnu Khuzaimah no. 527. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud I: 105 – Diambil dari buku Kriteria Imam Dalam Sholat Sesuai Al-Qur’an Dan As-Sunnah, karangan DR. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Pustaka At-Tazkia).
1. Dari Abu Hurairah radhialloohu’anhu, Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam bersabda:
“Para imam itu sholat demi kepentingan kalian. Kalau mereka benar, kalian (dan juga mereka) mendapatkan pahala. Tetapi kalau mereka salah, kalian tetap mendapatkan pahala sementara mereka mendapatkan dosa.”
(HR. Al-Bukhari dalam kitab Adzan, bab: ‘Jika imam tidak menyempurkan sedang kalian berada di belakangnya’ no. 694, Ahmad II/355).
1. Dari Uqbah bin Amir radhialloohu’anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yag mengimami orang banyak dan melaksanakan sholatnya secara tepat waktu, maka ia dan para makmumnya mendapatkan pahala. Tetapi kalau ia mengurangi sedikit saja, ia mendapatkan dosa, sementara makmumnya tidak.”

(HR. Ahmad, IV: 154, Ibnu Majah dalam kitab Ah-Shalah, bab: Kewajiban seorang imam, no. 983, Abu Daud dalam kita Ash-Sholah, bab: Seluruh persoalan keimaman dan keutamaannya, no. 580. Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, I: 115 menyatakan: Hasan shahih. Beliau juga menyatakan shahih dalam Sunan Ibnu Majah, I: 293).
1. Dari Sahal bin Saad radhialloohu’anhu, diriwayatkan bahwa ia menceritakan: Aku pernah mendengar Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam bersabda:
“Imam itu memiliki tanggung jawab. Kalau ia melakukan sholat secara baik, maka ia dan para makmumnya mendapatkan pahala. Dan apabila ia melakukannya dengan salah maka ia berdosa, sementara makmumnya tidak.”
(HR. Ibnu Majah kalam kitab Ash-Shalah, bab: Kewajiban seorang imam, no. 981. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, I: 292).

Yang Berhak Menjadi Imam
1. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhialloohu’anhu, bahwa ia menuturkan: Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam bersabda:
“Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qu’annya.[1] Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang ajaran sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah.[2] Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“…….. yang paling tua usianya …….”[3] “Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya,[4] dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan uantuk tuan rumah tersebut tanpa seizinnya.”[5]

Macam-Macam Imam Dalam Sholat
1. Anak Kecil
Hadits dari Amru bin Salamah, ia menceritakan: Kami pernah berada di sumber air yang dilewati banyak orang.[6] Waktu itu para pengendara dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya kepada mereka: “Ada apa dengan orang banyak? Ada apa dengan orang banyak? Siapakah lelaki itu (Rasulullooh)?”[7] Mereka menjawab: Ia lelaki yang mengaku telah diutus sebagai rasul dan mendapat Wahyu begini dan begitu.” Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga seolah-olah terpatri dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk Islam bila terjadi penaklukan kota Mekah.[8] Mereka berkata: “Tinggalkan saja dia dengan kaumnya. Kalau ia berhasil menaklukkan mereka, berarti dia memang Nabi yang sebenarnya. Ketika terjadi penaklukan kota Mekah, mereka berlomba-lomba masuk Islam.[9] Ketika ia datang di kota Mekah, ia berkata: “Sungguh kami datang dari sisi Nabi sallalloohu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Lakukanlah sholat ini di waktu ini, lakukanlah sholat itu, di waktu itu. Bila datang waktu sholat, hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi muadzin, dan yang menjadi imam adalah yang terbanyak hafalan Al-Qur’annya.”
Lalu mereka saling meneliti ternyata tidak ada seorangpun yang hafalan Al-Qur’annya lebih banyak dariku, karena aku sudah banyak mendapatkan hafalan dari para pengendara dahulu, mereka pun mengajukan diriku sebagai imam bagi mereka, padahal aku baru berumur enam atau tuhuh tahun, dan aku kala itu mengenakan burdah, yang bila aku sujud, kain burdahku itu tertarik keatas.[10] Ada seorang wanita dusun berkata kepadaku: “Kenapa kalian tidak menutupi pantat imam kalian itu?” Merekapun membeli bahan[11] memotong sebuah gamis untukku. Belum pernah aku bergembira lebih dari kegembiraanku ketika mendapat gamis itu.”
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan tambahan: “Amru bin Salamah berkata: “Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum Muslimin, pasti aku dipilih sebagai imam mereka dan akupun terbiasa mensholatkan jenazah-jenazah sebagai imam hingga hari ini.[12]
2. Orang Buta
Hadits dari Anas bin Malik radhialloohu’anhu bahwa Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam pernah menyerahkan tugas keimaman kepada Ibnu Ummi Maktum, sementara ia adalah orang buta.[13] Dalam satu riwayat disebutkan: Beliau pernah menyerahkan tugas keimaman kepada Ibnu Ummi Maktum ini sebanyak dua kali di kota Al-Madinah.[14] Bahakn setelah dihitung-hitung tugas keimaman Ibnu Ummi Maktum telah mecapai tiga belas kali. Itu menjadi dalil-dalil sahnya keimamn orang buta tanpa ada nilai kemakruhan.[15]
Hal ini diindikasikan oleh riwayat Mahmud bin Ar-Rabi’ Al-Anshari radhialloohu’anhu bahwa Utban bin Malik pernah mengimami kaumnya sementara ia sendiri buta. Lalu ia berkata kepada Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullooh, sesungguhnya jalanan gelap dan becek, sedangkan aku orang buta. Tolong shalat di salah satu kamar rumah kami yang nantinya akan kami jadikan tempat shalat.” Rasulullooh datang menemuinya dan bertanya: “Di tempat mana engkau suka aku melakukan shalat tersebut?” Utbah menunjuk salah satu lokasi di rumahnya, lalu Rasulullooh shalat di tempat itu.[16]
3. Hamba sahaya dan mantan budak
Hadits dari Ibnu Umar radhialloohu’anhu, bahwa beliau menceritakan: “Ketika orang-orang Muhajirin pertama datang ke Aqabah –salah satu lokasi di Kuba- sebelum kedatangan Rasulullooh sallalloohu’alaihi wa sallam. Mereka diimami Salim, mantan budah Abu Hudzaifah radhialloohu’anhu, karena ia yang paling banyak hafalannya.”[17]
Dalam riwayat lain diceritakan dari Ibnu Umar radhialloohu’anhu bahwa ia pernah mengisahkan mantan budak Abu Hudzaifah pernah mengimami kalangan Al-Muhajirin pertama dan para sahabat Nabi di masjid Kubah, diantara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Abu Salamah, Zaid, dan Amir bin Rabi’ah.[18]
[Diambil dari buku Kriteria Imam Dalam Shalat Sesuai Al-Qur’an Dan As-Sunnah, karangan DR. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Pustaka At-Tazkia]
[1] “Yang berhak mengimami shalat adalahorang yang paling bagus atau paing banyak hafalan Al-Qur’annya”, menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya didahulukan dari orang yang leibh dalam ilmu fiqihnya. Itu adalah madzhab imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat imam asy-Syafi’i. Imam Malik sendiri, juga imam asy-Syafi’i dan para shahabat beliau menyatakan: ‘Orang yang lebih dalam ilmu fiqih didahukukan dari orang yang lebih bagus bacaan Al-Qur’annya. Karena bacaan yang dibutuhkan dalam shalat sudah tertentu, sementara yang harus diketahui tentang hukum shalat lebih luas lagi. Terkadang dalam shalat ada hal-hal yang hanya diketahui oleh orang yang sempurna ilmu pengetahuannya tentang fiqih shalat. Hanya saja dalam sabda Nabi sallalloohu’alaihi wa sallam: “Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, pilih yang paling mengerti tentang ajaran Sunnah”, menjadi dalil untuk mendahulukan orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’an-nya secara mutlak dari orang yang lebih mengetahui ajaran Sunnah. Yang benar, bahwa orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’annya memang didahulukan bila ia sudah mengetahui hukum-hukum shalatnya (lihat Syarah An-Nawawi dari Shahih Muslim, V: 178. Lihat Al-Mufhim ringkasan dari Kitab Muslim oleh Al-Qurthubi, II: 297. Lalu Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, III: 11-12. Lihat juga Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar, II: 171. Juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani, II: 389. Juga Hasyiyah Ibnu Qasim ‘Alar Raudhil Murbi’, II: 296. Lalu Asy-Syrhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin, IV: 289-291, juga Subulus salam oleh Ash-Shan’ani, III: 95).
[2] “Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah …..” Hijrah yang didahulukan dalam pemilihan imam tidaklah dikhususkan pada hijrah yang dilakukan oleh Nabi pada masa lalu. Tetapi yang dimaksud adalah hijrah yang tidak akan pernah terputus hingga hari kiamat sebagaimana ditegaskan dalam hadits dari negeri kafir ke negeri Islam demi menjalankan ketaatan dan mendekatkandiri kepada Allooh. Maka oran gyang lebih dahulu melakukan hijrah tersebut, didahulukan untuk menjadi imam, karena ia lebih dahulu melakukan ketaatan. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, III: 15. Syarah Muslim oleh Imam An-Nawawi, V: 179. Juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani, II: 390. Juga Subulus salam oleh Ash-Shan’ani, II: 96).
[3] Yang paling dahulu ke-Islamannya. Dalam riwayat lain disebutkan: yang paling tua usianya. Dalam riwayat lain: yang paling tinggi usianya. Usia disini berkaitan dengan kemualiaan ke-Islaman yang lebih dahulu. Dan riwayat yang menyebutkan “usia” bukan Islam. Kembalinya kepada usia ke-Islaman karena orang yang lebih tinggi usianya berarti lebih lama ke-Islamannya dibandingkan dengan orang yang lebih rendah usianya (Lihat Al-Mufhim oelh Al-Qurthubi, II: 298). Kami pernah mendengar syaikh Ibnu Baz ketika beliau mengupas Bulughul Maram, hadits no. 436: “Orang yang lebih tua usianya, berarti lebih tinggi usia ke-Islamannya. Terkecuali apabila mereka itu kafir baru kemudian masuk Islam. Bahkan yang lebih dahulu ke-Islamannya sama dengan yang lebih dahulu berhijrah ……” (Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi, II: 390, Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani, III: 96, juga Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, III: 15).
[4] Seorang dilarang untuk mengimami orang lain dalam kekuasaannya yakni dalam wilayah kekuasaannya. Yakni wilayah yang menjadi milik atau berada di bawah kekuasaannya. Termasuk di antaranya pemilik suatu rumah atau majelis, imam masjid, dan yang paling tinggi kekuasaannya adalah pemimpin besar kaum muslimin. Karena kekuasaannya luas. Pemilik satu tempat lebih berhak untuk menjadi imam di tempat tersebut. Bila ia ingin, ia bisa menjadi imam. Tetapi kalau ia ingin, ia bisa menyerahkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki, meskipun orang yang dikedepankan itu tidak lebih utama dari seluruh makmum yang ada. Karena itu adalah kekuasaannya, sehingga ia bisa memperlakukannya sesuka hatinya. Seorang pemimpin didahulukan daripada imam masjid dan pemilik rumah. Dan disunnahkan bagi tuan rumah untuk memberikan izin keimamannya kepada orang yang lebih baik daripanya. (Lihat Al-Mufhim oelh Al-Qurthubi, II: 299, Al-Mughni oelh Ibnu Qudamah, III: 42, Syarah Muslim oleh imam An-Nawawi, V: 180, juga Nailul Authar oelh Asy-Syaukani, II: 391, juga Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani, III: 97 dan Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin, IV: 299).
[5] “Tidak duduk di atas tempat duduk khusus, milik tuan rumah kecuali dengan seizin tuan rumah, dalam riwayat lain: “Dan jangan engkau duduk diatas tempat duduk khusus yang ada di rumahnya kecuali jika ia mengizinkan atau dengan izinnya.” Yang dimaksud tempat duduk khusus yakni dengan menggunakan alas atau semua yang digelar untuk tuan rumah secara pribadi. Alasan larangan tersebut adalah karena dilarang seseorang menggunakan milik orang lain kecuali dengan seizinnya. Hanya saja disini kekhususan karena banyak orang yang menggampang-gampangkan duduk diatasnya “takramah”. Kalau diduduki saja dilarang, tentu membawa dan menjualnya lebih utama pelarangannya. (Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi, II: 299, lihat juga Syarah Muslim oleh An-Nawawi, V: 180).
[6] Yakni di lokasi yang dilewati oleh orang banyak. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, VIII: 23 dan Irsyadus Sari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, IX: 284.
[7] Siapakah lelaki itu? Ini adalah pertanyaan tentang diri Rasulullooh dan kondisi orang-orang Arab kala itu yang bersama beliau. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, VIII: 23.
[8] Menunggu-nunggu. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, VIII: 23.
[9] Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar VIII: 23.
[10] Burdah adalah sejenis kain kecil segi empat yang disebut juga kain hitam. Arti tertarik keatas, yakni tersingkap sebagian kakinya karena kain itu terangkat. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, VIII: 23 juga Nailul Authar oleh Asy-Syaukani, II: 401.
[11] Yakni membeli bahan untuk dipotong dan dijahit sebagai pakaian. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, VIII: 23.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Maghazi, bab: Nabi tinggal selama beberapa saat di Mekah pada penaklukan kota itu, no. 4302. Tambahan dalam Sunan Abu Daud adalah lafazh: “Merekapun membeli bahan dari Oman, no. 585. Dalam riwayat lain no. 587 terdapat tambahan pula: “Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum muslimin, pasti aku dipilih sebagai imam mereka dan akupun terbiasa mensholatkan jenzah-jenazah sebagai imam hingga hari ini.”
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Ash-Shalah, bab: Keimaman orang buta, no. 595. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III: 192. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, III: 88. Hadits ini memiliki beberapa penguat dari ‘Aisyah radhialloohu’anha yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Ihsan, V: 506, no. 2134. Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, I: 118 menyatakan: Hadits shahih.
[14] Lihat Subulus Salam oleh Ash-Shan’ani, III: 120, dan Nailul Authar oleh Asy-Syaukani, II/395.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Al-Kharraj, bab: Orang buta bisa diberi tugas, no. 2931. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, II: 566.
[16] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Keringanan ketika hujan dan udzur untuk shalat di rumah, no. 667.
[17] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adzan, bab: Keimaman budan dan mantan budak, no. 692.
[18] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ahkam, bab: Mempekerjakan mantan budak sebagai hakim dan pegawai, no. 7175.

Category: | 0 Comments

0 comments to “KRITERIA IMAM DALAM SHOLAT BERJAMAAH”